Jumat

HUKUM PUASA BAGI IBU YANG HAMIL ATAU MENYUSUI


Apa hukum puasa bagi ibu yang hamil atau menyusui?

Mungkin ini pertanyaan yang seringkali muncul bagi para ibu, yang masih saja bimbang mengenai boleh tidaknya seorang ibu yang sedang hamil ataupun menyusui untuk tidak beribadah puasa di bulan Ramadhan. Apalagi perasaan was-was para ibu jika kebutuhan nutrisi bagi janin ataupun bayinya, mungkin saja menjadi kurang tercukupi karena puasa.

Banyak perbedaan pendapat dari kalangan para ulama, mengenai hukum puasa bagi ibu yang hamil ataupun menyusui ini. Ada yang mengatakan bahwa diwajibkannya meng-qadha di hari lain, ada juga yang berpendapat hanya dengan membayar fidyah saja, dan bahkan ada pula yang mewajibkan keduanya dengan mengganti puasanya dan memberi makan seorang miskin pula.

Untuk itulah, sebagai seorang yang awam saya mencoba sharing mengenai hal ini agar semoga artikel ini bisa bermanfaat. Berikut ini beberapa pendapat yang bisa kita jadikan acuan, yang didasarkan pada konsekuensi terhadap kemampuan ataupun kesanggupan masing-masing ibu yang tentunya berbeda-beda, diantaranya:

1. Untuk Ibu Hamil dan Menyusui yang Mengkhawatirkan Keadaan Dirinya Saja Bila Berpuasa
Bagi ibu, untuk keadaan ini maka wajib untuk mengqadha (tanpa fidyah) di hari yang lain ketika telah sanggup berpuasa.

Keadaan ini disamakan dengan orang yang sedang sakit dan mengkhawatirkan keadaan dirinya. Sebagaimana dalam ayat,

“Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (Qs. Al Baqarah[2]:184)

Berkaitan dengan masalah ini, Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Kami tidak mengetahui ada perselisihan di antara ahli ilmu dalam masalah ini, karena keduanya seperti orang sakit yang takut akan kesehatan dirinya.” (al-Mughni: 4/394)

2. Untuk Ibu Hamil dan Menyusui yang Mengkhawatirkan Keadaan Dirinya dan Buah Hati Bila Berpuasa

Sebagaimana keadaan pertama, sang ibu dalam keadaan ini wajib mengqadha (saja) sebanyak hari-hari puasa yang ditinggalkan ketika sang ibu telah sanggup melaksanakannya.

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Para sahabat kami (ulama Syafi’iyah) mengatakan, ‘Orang yang hamil dan menyusui, apabila keduanya khawatir dengan puasanya dapat membahayakan dirinya, maka dia berbuka dan mengqadha. Tidak ada fidyah karena dia seperti orang yang sakit dan semua ini tidak ada perselisihan (di antara Syafi’iyyah). Apabila orang yang hamil dan menyusui khawatir dengan puasanya akan membahayakan dirinya dan anaknya, maka sedemikian pula (hendaklah) dia berbuka dan mengqadha, tanpa ada perselisihan (di antara Syafi’iyyah).’” (al-Majmu’: 6/177, dinukil dari majalah Al Furqon)

3 .Untuk Ibu Hamil dan Menyusui yang Mengkhawatirkan Keadaan si Buah Hati saja

Dalam keadaan ini, sebenarnya sang ibu mampu untuk berpuasa. Oleh karena itulah, kekhawatiran bahwa jika sang ibu berpuasa akan membahayakan si buah hati bukan berdasarkan perkiraan yang lemah, namun telah ada dugaan kuat akan membahayakan atau telah terbukti berdasarkan percobaan bahwa puasa sang ibu akan membahayakan. Patokan lainnya bisa berdasarkan diagnosa dokter terpercaya – bahwa puasa bisa membahayakan anaknya seperti kurang akal atau sakit -. (Al Furqon, edisi 1 tahun 8)

Untuk kondisi ketiga ini, ulama berbeda pendapat tentang proses pembayaran puasa sang ibu. Berikut sedikit paparan tentang perbedaan pendapat tersebut.

Dalil ulama yang mewajibkan sang ibu untuk membayar qadha saja

Dalil yang digunakan adalah sama sebagaimana kondisi pertama dan kedua, yakni sang wanita hamil atau menyusui ini disamakan statusnya sebagaimana orang sakit. Pendapat ini dipilih oleh Syaikh Bin Baz dan Syaikh As-Sa’di rahimahumallah

Dalil ulama yang mewajibkan sang Ibu untuk membayar fidyah saja

Dalill yang digunakan adalah sama sebagaimana dalil para ulama yang mewajibkan qadha dan fidyah, yaitu perkataan Ibnu Abbas radhiallahu’anhu, “Wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anak-anaknya, maka mereka berbuka dan memberi makan seorang miskin.” ( HR. Abu Dawud)

dan perkataan Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhu ketika ditanya tentang seorang wanita hamil yang mengkhawatirkan anaknya, maka beliau berkata, “Berbuka dan gantinya memberi makan satu mud gandum setiap harinya kepada seorang miskin.” (al-Baihaqi dalam Sunan dari jalan Imam Syafi’i, sanadnya shahih)

Dan ayat Al-Qur’an yang dijadikan dalil bahwa wanita hamil dan menyusui hanyaf membayar fidyah adalah, “Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah (yaitu) membayar makan satu orang miskin.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 184)

Hal ini disebabkan wanita hamil dan menyusui yang mengkhawatirkan anaknya dianggap sebagai orang yang tercakup dalam ayat ini.

Pendapat ini adalah termasuk pendapat yang dipilih Syaikh Salim dan Syaikh Ali Hasan hafidzahullah.

Dalil ulama yang mewajibkan sang Ibu untuk mengqadha dengan disertai membayar fidyah

Dalil sang ibu wajib mengqadha adalah sebagaimana dalil pada kondisi pertama dan kedua, yaitu wajibnya bagi orang yang tidak berpuasa untuk mengqadha di hari lain ketika telah memiliki kemampuan. Para ulama berpendapat tetap wajibnya mengqadha puasa ini karena tidak ada dalam syari’at yang menggugurkan qadha bagi orang yang mampu mengerjakannya.

Sedangkan dalil pembayaran fidyah adalah para ibu pada kondisi ketiga ini termasuk dalam keumuman ayat berikut,

“…Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin…” (Qs. Al-Baqarah [2]:184)

Hal ini juga dikuatkan oleh perkataan Ibnu Abbas radhiallahu’anhu, “Wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anak-anaknya, maka mereka berbuka dan memberi makan seorang miskin.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam Irwa’ul Ghalil). Begitu pula jawaban Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhu ketika ditanya tentang wanita hamil yang khawatir terhadap anaknya, beliau menjawab, “Hendaklah berbuka dan memberi makan seorang miskin setiap hari yang ditinggalkan.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam Fatawa an-Nisaa’ bahwa apabila wanita hamil mengkhawatirkan keselamatan bayinya (janinnya) jika dia berpuasa, maka dia boleh berbuka. Kemudian dia harus mengganti setiap hari yang ditinggalkannya dan memberi makan seorang miskin setiap harinya satu ritl dari roti yang layak.
 
Adapun perkataan Ibnu Abbas dan Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhuma yang hanya menyatakan untuk berbuka tanpa menyebutkan wajib mengqadha karena hal tersebut (mengqadha) sudah lazim dilakukan ketika seseorang berbuka saat Ramadhan.


Dalam kitab Tanbihaat ‘alaa Ahkaamin Takhtashshu bil Mu’minat (Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan) disebutkan bahwa wanita yang mengandung dan wanita yang sedang menyusui, jika puasanya berdampak bahaya terhadap dirinya atau anaknya atau keduanya, maka wanita itu boleh berbuka saat mengandung dan menyusui. Adapun jika dia mengkhawatirkan bahaya yang akan menimpa anaknya saja tanpa dirinya jika dia berpuasa, maka dia harus mengqadha’ hari-hari yang ditinggalkannya dan memberi makan setiap harinya seorang miskin. Jika dia mengkhawatirkan bahaya yang akan menimpa dirinya saja sehingga dia berbuka, maka ia cukup mengqadha’ saja.

Syaikh Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang seorang wanita yang melahirkan di bulan Ramadhan dan setelah bulan Ramadhan itu dia tidak mengqadha’ puasanya karena kekhawatirannya pada anaknya yang sedang menyusu, kemudian wanita itu hamil dan melahirkan lagi pada bulan Ramadhan berikutnya, apakah si wanita ini boleh membagikan uang saja sebagai pengganti puasanya..?
Asy-Syaikh menjawab, yang wajib bagi wanita ini adalah mengqadha’ puasanya selama hari-hari yang ditinggalkannya di bulan Ramadhan walaupun puasa itu diqadha’ di hari-hari setelah Ramadhan kedua, hal ini dikarenakan adanya udzur yang menyebabkan tidak berpuasa pada Ramadhan pertama dan Ramadhan kedua. (Fatawa ash-Shiyam, hal. 68. Disalin dari Fatwa-Fatwa Tentang Wanita)

Jadi masalah qadha’ dan fidyah ini adalah khilaf di kalangan para ulama, adapun kita thalabul ‘ilm adalah merujuk kepada sumber-sumber yang shahih dan tsiqat, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah ash-shahihah, sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surat an-Nisaa’ ayat 59. Namun, apabila kita tidak mampu atau tidak memiliki ilmu yang cukup tentang masalah ini, maka kita berkewajiban untuk bertanya kepada ahli ilmu, yaitu para ulama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa kasih komentarnya ya...
Terima kasih